Rabu, 25 Desember 2013

KOROSI BESI

1 komentar
Korosi Besi

I.          Tujuan
1.    Mengamati perubahan/perkaratan besi
2.    Mengamati proses oksidasi dan reduksi yang terjadi pada besi

II.        Dasar Teori
Korosi merupakan proses degradasi,deterorisasi,pengerusakan materil yang  di sebabkan oleh pengaruh lingkungan sekelilingnya.Adapun prosesnya yakni merupakan reaksi redoks antara satu logam dengan berbagai zat di sekelilingnya tersebut.Dalam bahasa sehari-hari korosi di sebut dengan perkaratan.Kata korosi berasal dari bahasa latin "Corrodere" yang artinya  pengrusakan logam atau perkaratan.jadi jelas korosi di kenal sangat merugikan.Korosi merupakan sistem termodinamika logam dengan lingkungannya,yang berusaha untuk mencapai kesetimbangan.Sistem ini di katakan setimbang bila logam telah membentuk oksida atau senyawa kimia lain yang lebih stabil. Pencegahan korosi merupakan salah satu dari banyak jenis logam yang penggunaanya sangat luas dalam kehidupan sehari-hari.Namun kekurangan dari besi adalah sifatnya yang sangat mudah mengalami korosi.Padahal besi yang telah mengalami korosi akan kehilangan nilai jual ada fungsi komersialnya.Ini tentu saja akan merugikan sekaligus membahayakan.Berdasarkan dari asumsi tersebut ,percobaan ini di fokuskan dalam upaya pencegahan terjadinya peristiwa korosi ini khususnya pada besi. Selain itu pada  percobaan ini akan di ketahui logam-logam apa sajakah yang dapat menghambat terjadinya korosi sesuai dengan sifat-sifat  kimia nya.
Besi merupakan logam yang menempati urutan kedua dari logam-logam yang umum terdapat pada kerak bumi .besi cukup reaktif, besi bila di biarkan di udara terbuka untuk  beberapa lama mengalami perubahan warna yang lazim di sebut perkaratan besi.Proses perubahan besi menjadi besi berkarat merupakan reaksi redoks yag melihat oksigen:
Fe(s)  + O2  -->  Fe2O3
Faktor yang berpengaruh terhadap korosi dapat di bedakan mejadi dua,yaitu yang berasal dari bahan itu sendiri dan diri lingkungan. Dari Faktor bahan meliputi kemurnian  bahan,struktur bahan ,bentuk kristal ,unsur-unsur kelumit yang ada  dalam bahan,teknik pencampuran bahan dan sebagainya. Bahan-bahan korosif (yang dapat menyebabkan korosi) terdiri atas asam,basa skoroserta garam,baik dal bentuk senyawa an-organik maupun organik. Penguapan dan pelepasan bahan-bahan korosif ke udara dapat mempercepat  proses korosi. Udara dalam ruangan yang terlalu asam atau basa dapat mempercepat proses korosi peralatan elektronik yang ada dalam ruangan tersebut.
Flour,hidrogen flourida beserta persenyawaan-persenyawaannya di kenal sebagai bahan korosif. Dalam industri,bahan ini umumnya di pakai untuk sintesa bahan-bahan organik. Ammoniak (NH3) merupakan bahan kimia yang cukup banyak di gunakan dalam kegiatan industri. Pada suhu dan tekanan normal,bahan ini berada dalam bentuk gas dan sangat mudah terlepas ke udara. Ammoniak dalam kegiatan industri umumnya di gunakan untuk sintesa bahan organik,sebagai bahan anti beku didalam alat pendingin,juga sebagai bahan untuk pembuatan pupuk.Bejana-bejana penyimpan ammoniak harus selalu di periksa untuk mencegah terjadinya kebocoran dan pelepasan bahan ini ke udara.Embun pagi saat ini umumnya mengandung aneka partikel aerosol,debu serta gas-gas asam seperti NOdan SOx.
Dalam batu bara terdapat belerang atau sulfur (S) yag apabila di bakar berubah menjadi oksida belerang.
Masalah utama berkaitan dengan peningkatan penggunaan batu bara adalah dilepaskannya gas-gas polutan seperti oksida nitrogen (NOx) dan Oksida belerang (SOx).Walaupun sebagian besar pusat tenaga listrik batu bara telah menggunakan alat pembersih endapan (presipitor) untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap batu bara,namun NOx da SOx yang merupakan senyawa gas dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Di dalam udara,kedua gas tersebut dapat berubah menjadi asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4).
Oleh sebab itu,udara menjadi terlalu asam dan bersifat korosif dengan terlarutnya gas-gas asam tersebut di dalam udara.Udara yang asam ini tentu dapat berinteraksi dengan apa saja,termasuk komponen-komponen renik di dalam peralatan elektronik.Jika hal itu terjadi ,maka proses korosi tidak dapat  di hindari lagi. Korosi yang menyerang piranti maupun komponen-komponen elektonika dapat mengakibatkan kerusakan bahkan kecelakaan.Karena korosi ini maka sifat elektrik komponen-komponen elektronika dalam komputer,televisi,radio,kalkulator,jam digital dan sebagaiya menjadi rusak.korosi dapat menyebabkan terbentuknya lapisan non-konduktor pada komponen elektronik.
Oleh sebab itu,dalam lingkungan dengan tingkat pencemaran tinggi,aneka barang mulai dari komponen elektronika renik sampai jembatan baja semakin mudah rusak,bahkan hancur karena korosi.Dalam beberapa kasus,hubungan pendek yang terjadi pada peralatan elektronik dapat menyebabkan terjadi nya kebakaran yang menimbulkan kerugian bukan hanya dalam bentuk kehilangan atau kerusakan materi,tetapi juga korban nyawa.

III.     Alat dan Bahan
a.    Alat
1.     Gelas piala 250 ml
2.     Cawan petri
3.     Batang pengaduk
4.     Penanggas air
5.     Paku
b.    Bahan
1.     Larutan NaCl
2.     Agar-agar
3.      K3(Fe(CN)6)
4.     Fenolftalin
5.     Larutan HCL

IV.     Cara Kerja
 
V.        Data Pengamatan
 

VI.     Pembahasan
Pada percobaan ini dilakukan percobaan perkaratan pada besi. Jenis besi yang digunakan adalah paku besar, paku kecil, paku payung, dan jarum pentul. Paku-paku tersebut direndam dalam larutan agar-agar (sebagai kontrol), campuran kontrol dan NaCl 0,5 M, campuran kontrol dan K4[Fe(CN)6], dan campuran kontrol dan fenolftalein, kemudian diamati setiap 30 menit, 1 jam, 2 jam, dan 24 jam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perkaratan pada besi yang direndam dalam semua larutan dapat terjadi pada pengamatan selama 24 jam, sedangkan pada pengamatan selama 30 menit, 1 jam, dan 2 menit tidak mengalami perkaratan pada besi.
Korosi pada besi adalah kerusakan atau degradasi logam besi akibat reaksi redoks antara logam besi dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3.nH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah.
Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu dari besi itu berlaku sebagai anode, di mana besi mengalami oksidasi.
Fe (s)  Fe2+ (aq) + 2e
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain dari besi itu yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2 (g) + 4 H+ (aq) + 4e 2 H2O (l)
atau
O2 (g) + 2 H2O (l) + 4e 4 OH- (aq)
Ion besi(II) yang terbentuk pada anode selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi(III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, yaitu karat besi.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkaratan pada besi diantaranya adalah kandungan air (kelembapan udara), adanya zat elektrolit, serta oksigen di udara. Air dapat mempengaruhi perkaratan, adanya air yang semakin banyak dapat mempercepat proses korosi. Selain itu, zat elektrolit juga mampu mempengaruhi proses korosi. Zat elektrolit seperti asam atau garam merupakan media yang baik untuk melangsungkan transfer muatan. Hal itu mengakibatkan elektron lebih mudah untuk dapat diikat oleh oksigen di udara. Kemudian udara yang banyak mengandung uap air (lembap) akan mempercepat berlangsungnya proses korosi. Oleh sebab itu, pada pengamatan selama 24 jam, besi mulai menunjukkan perubahan, hal ini disebabkan karena semakin banyak uap air di udara yang terdapat pada media yang digunakan, sehingga mempermudah proses perkaratan pada besi.

VII.   Kesimpulan
Pada percobaan perkaratan besi, sampel besi yang direndam pada beberapa media (agar-agar (kontrol), campuran kontrol dan NaCl 0,5 M, campuran kontrol dan K4[Fe(CN)6], dan campuran kontrol dan fenolftalein) dihasilkan bahwa besi mengalami perkaratan pada pengamatan selama 24 jam, sedangkan pada pengamatan selama 30 menit, 1 jam, dan 2 jam tidak terjadi perkaratan, karen kandungan uap air yang terdapat pada media lebih banyak sehingga mempermudah proses perkaratan besi.

DAFTAR PUSTAKA
Jayanti, Resti Dwi. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Korosi. http://restidj.blogspot.com/2013/10/laporan-pratikum-kimia-korosi.html

LAMPIRAN
PERTANYAAN
1.    Apa tanda-tanda telah terjadi proses redoks pada percobaan ini?
2.    Tuliskan reaksi redoks yang terjadi!
3.    Sebutkan reagen-reagen apa saja yang dapat meleburkan logam Fe?
4.    Senyawa apa saja yang terdapat pada besi komersial?

JAWAB:
1.      Proses redoks terjadi ketika besi mengalami perubahan warna menjadi merah kecoklatan yang disebabkan karena besi dioksidasi oleh oksigen yang ada di udara.
2.      4 Fe (s) + 3 O2 (g) --> 2 Fe2O3 (s) [karat besi]
Oksidasi: Fe (s)  Fe2+ (aq) + 2e
Reduksi: O2 (g) + 2 H2O (l) + 4e 4 OH- (aq)
3.      Reagen yang dapat meleburkan logam Fe adalah NaCl dan K4[Fe(CN)6]
4.      Besi komersial merupakan campuran besi dan karbon. tambahan unsur Karbon (C) sampai dengan 1.67% (maksimal).  Dimana kandungan karbon (C) mempengaruhi kekerasan baja, Disamping itu, baja mengandung unsure campuran lain yang disebut paduan, misalnya Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Silikon (Si), Belerang (S), dan Posfor (P)

 
Gambar 1. Pengamatan korosi besi selama 30 menit
 
Gambar 2. Pengamatan korosi besi selama 1 jam
 
Gambar 3. Pengamatan korosi besi selama 2 jam
 
Gambar 4. Pengamatan korosi besi selama 24 jam

Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II) Tetraamin Sulfat Berhidrat

0 komentar
Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II) Tetraamin Sulfat Berhidrat

I.          Tujuan
Mempelajari pembuatan tembaga (II) ammonium sulfat berhidrat dan tembaga (II) tetraamin sulfat berhidrat.

II.        Dasar Teori
Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam yang paling ringan dan apaling aktif. Cumengalami disproporsionasi secara spontan dalam keadaan standar (baku). Hal ini bukan berarti senyawa larutan Cu (I) tidak mungkin terbentuk. Untuk menilai pada keadaan bagaimana Cu (i) dan Cu (II) terbentuk, yaitu membuat (Cu+) cukup banyak pada larutan air, Cu2+ akan berada pada jumlah banyak (sebab konsentrasinya harus sekitar dua juta dikalikan pangkat dua dari Cu+). Dispropordionasi ini akan menjadi sempurna. Dilain pihak jika Cudijaga sangat rendah (seperti pada zat yang sedikit larut atau ion kompleks mantap). Cu2+ sangat kecil dan tembaga (I) menjadi mantap (Petrucci, 1987:350).
Tembaga (Cu) adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat. Tembaga melebur pada 1038oC, karena potensial elektroda standarnya positif (+ 0,34 V untuk pasangan Cu / Cu2+), tembaga tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya oksigen ia dapat larut sedikit. Asam nitrat yang sedang pekatnya (8 M) dengan mudah melarutkan tembaga (Svehla, 1990:229).
Tembaga membentuk senyawa dengan tingkat oksidasi +1 dan +2, namumn hanya tembaga (II) yang stabil dan mendominasi dalam larutanya. Dalam air, hampir semua garam tembaga (II) berwarna biru oleh karena warna ion kompleks koordinasi enam [Cu(H2O)6]2+. Reaksi ion Cu2+ dengan OHpada berbagai konsentrasi bergantung pada metodenya. Penambahan ion hidroksida ke dalam larutan tembaga (II) sulfat (0,1 – 0,5 M) secara bertetes denga kecepatan ~ 1 mL/menit menyebabakan terjadinya endapan gelatin biru muda dari garam tembaga (II) hidroksida sulfat, bukan endapan Cu(OH)(Sugiarto, 2003:569).
Senyawa tembaga bersifat diamagnetik. Tembaga sulit teroksidasi superfisial dalam udara kadang menghasilkan lapisan warna hijau hidroksida karbonat dan hidrokso sulfat dan SO2, di atmosfer tembaga mudah larut dalam asam nitrat dan asam sulfat dengan adanya oksigen. Kestabilan relatif kepro dan kopri diartikan dengan potensial Cu*= 0,52 V dan Cu= 0,153 V. Kestabilan rrelatif tergantung pada suulfat anion dan ligan yang cukup beragam dengan pelarut/sifat fisik atom tetangganya dalam kristal. Pelarutan tembaga hidroksida karbonat dan sebagainya dalam asam yang dihasilkan akuo hijau kebiruan yang ditulis [Cu(H2O)6]2+. Diantara berbagai kristal hidratnya adalah sulfat biru CuSO4.5H2O yang paling lazim. CuSO4.5H2O dapat dihidarasi menjadi zat anhidrat yang berwarna putih. Penambahan ligan menyebabkan kompleks dengan pertukaran molekul air secara berurutan (Syukri, 1999:321).

III.     Alat dan Bahan
a.    Alat :
1.    Gelas piala 250 ml
2.    Gelas ukur
3.    Corong
4.    Corong Buncher
5.    Batang pengaduk
6.    Kaca arloji

b.    Bahan :
1.    CuSO4.5H2O
2.    NH4OH 15 N
3.    Eter
4.    (NH4)2SO4
5.    Alkohol 95%
6.    Aquadest

IV.     Cara Kerja :
           1.    Tembaga (II) Ammonium Sulfat Hidrat

           2.    Tembaga (II) Tetraamin Sulfat Berhidrat
V.        Hasil Pengamatan

           1.    Pembuatan Tembaga (II) Ammonium Sulfat Hidrat

           2.    Pembuatan Tembaga (II) Tetraamin Sulfat Hidrat


VI.     Perhitungan

VII.    Pembahasan
         Pada praktikum kali ini praktikan melakukan pecobaan tentang Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II) Tetra Amin Sulfat Berhidrat. Adapun tujuan percobaan ini yaitu untuk mempelajari pembuatan senyawa tersebut. Pada percobaan ini pertama praktikan membuat garam tembaga (II) ammonium sulfat berhidrat. Pada proses pembuatan garam ini, awalnya praktikan mencampurkan serbuk CuSO4.5H2yang berwarna biru muda dan (NH4)2SO4 yang berwarna hijau muda dalam air panas. Air mempunyai momen dipol yang besar dan ditarik baik ke kation maupun anion untuk membentuk ion terhidrasi. Dari sifatnya tersebut maka digunakannya pelarut air karenabaik CuSO4.5H2O  maupun (NH4)2SO4 yang bereaksi dapat larut dalam air dan tetap berupa satu spesies ion. Hasil campuran ini membentuk larutan berwarna hijau kekuningan. Warna hijau kekuningan tersebut terjadi sebagai akibat campuran yang kurang sempurna (heterogen), berdasarkan literatur warna endapan yang terbentuk adalah warna biru yang homogen, pewarnaan biru disini merupakan warna dari ion Cu2+yang menjadi salah satu komponen pembentuk garam rangkap tersebut. Larutan segera ditutupi dengan kaca arloji sehingga dapat mencegah menguapnya beberapa ion yang diinginkan untuk dapat membentuk kristal monoklin sempurna. Pada percobaan ini didapatkan garam rangkap kupriammonium sulfat berupa kristal monoklin seberat 7,29gram, dengan persen hasil (% rendemen) sebesar 91,24%. Reaksi yang terjadi dalam pembuatan garam ini yaitu :
CuSO4.5H2O + (NH4)2SO CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
         Berikutnya praktikan melakukan pembuatan garam tembaga (II) tetra amin sulfat berhidrat. Praktikan melarutkan serbuk CuSO4.5H2O yang berwarna biru dengan menggunakan larutan NH3 pekat yang telah diencerkan dengan aquades, berupa larutan bening. Pencampuran ini dilakukan dalam lemari asam, karena akibat dari pencampuran ini menghasilkan gas yang berbau menyengat yang berasal dari larutan amonia pekat yang digunakan.  Dari hasil campuran ini, terbentuk larutan yang berwarna biru tua. Selanjutnya ke dalam campuran biru tua tersebut ditambahkan alkohol 95 % sedikit demi sedikit, hal ini bertujuan untuk mengurangi energi solvasi ion-ion sehingga pembentukan kristal dapat terjadi lebih sempurna. Praktikan menggunakan alkohol, karena alkohol merupakan pelarut yang baik untuk senyawa ionik, dimana alkohol sendiri memiliki tetapan dielektrik yang rendah. Setelah penambahan ini, campuran didiamkan. Endapan biru tua yang terbentuk kemudian disaring, lalu dicuci dengan campuran amonia pekat dan alkohol, kemudian dengan larutan alkohol. Pencucian dilakukan untuk memurnikan endapan kristal yang terbentuk dari pengotor-pengotor yang tidak diinginkan yang mungkin saja terdapat dalam garam yang terbentuk pada saat dilakukan penyaringan sebagian kristal tersebut ikut terbawa bersama filtrat.     Terakhir endapan kristal dikeringkan, kemudian ditimbang. Praktikan memperoleh berat endapan kristal yang terbentuk sebanyak 7,13 gram, dengan persen hasil (% rendemen) sebesar 88,70 %. Reaksi yang terjadi pada saat pembentukan garam kompleks ini adalah:
CuSO4.5H2O+ 4NH Cu(NH3)4SO4.5H2O

VIII.     Kesimpulan
1.    Massa kristal CuSO4(NH4)2SO4.6H2O adalah 7,29 gram.
2.    % rendemen CuSO4(NH4)2SO4.6H2O adalah 91,24%
3.    Massa kristal Cu(NH3)4SO4.6H2O adalah 7,13 gram, kristal berwarna biru tua.
4.    % rendeman Cu(NH3)4SO4.6H2O adalah 88,70%

IX.     Daftar Pustaka
Cotton. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: UI- Press.
Day & Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Kelima.Jakarta :
            Erlangga.
Harjadi. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar.Jakarta : PT. Gramedia.

Lampiran
Pertanyaan !
1.       Apa tujuan pencucian dengan menggunakan eter?
2.       Apa jenis garam yang dihasilkan dari percobaan ini?
3.       Bedakan antara garam-garam kompleks dengan garam sederhana?
  Jawab :
     1. Eter digunakan bertujuan untuk dapat melarutkan senyawa/molekul-molekul pengotor agar          didapat kristal garam kompleks berhidrat yang murni.
     2. Garam yang dihasilkan merupakan garam kompleks. Dimana Tembaga (II)  Amonium Sulfat          Berhidrat merupakan ligan yang mengikat pada atom pusat H2O.
    3. Garam sederhana adalah garam yang tersusun dan ion positip logam (termasuk NH4) dengan        ion sisa asam.
  Contohnya: NaCI, K2SO4 dan FeCl3
  Garam kompleks adalah garam yang melibatkan unsur transisi / gd B. kompleks ini tersusun atas   atom pusat (logam transisi) yang dikelilingi oleh sejumlah anion atau molekul netral Anion atau     molekul netral yang mengelilingi atom pusat itu disebut ligan.
  Contohnya : K4[Fe(CN)6] dengan nama kalium heksa siano ferat (II).


Gambar 1. Tembaga (II) Tetraamin Sulfat Hidrat

Kamis, 19 Desember 2013

REVIEW JURNAL "PRODUKSI GAS HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MENGGUNAKAN LIMBAH ALUMINIUM DAN METANOL"

0 komentar
PRODUKSI GAS HIDROGEN SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
MENGGUNAKAN LIMBAH ALUMUNIUM DAN METANOL : REVIEW

Nurdini Awaliyah (1112096000061)

Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir.H.Juanda No 95 Ciputat, Banten
nurdini.awaliyah@gmail.com

ABSTRAK

            Hidrogen sangat dimungkinkan menjadi alternatif bahan bakar masa depan. Proses produksi hidrogen dapat dilakukan secara biologi maupun secara kimiawi. Fokus penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah alumunium yang belum termafaatkan secara optimal menjadi gas hidrogen yang dibutuhkan sebagai sumber fuel cell, sumber energi yang ramah lingkungan. Penelitian ini diawali dengan mencari katalis (H2SO4, NaOH, KOH dan NaCl), yang optimal untuk produksi gas hidrogen dari limbah alumunium foil. Hasil penelitian menunjukkah bahwa gas hidrogen dapat diproduksi dengan menggunakan limbah alumunium foil dan limbah alumunium dari kaleng minuman pada suasana basa (NaOH). Semakin tinggi konsentrasi NaOH, semakin cepat waktu reaksi tetapi produksi gas hidrogennya cenderung tetap.
            Sintesis hidrogen dari methanol dapat dilakukan melalui reaksi reformasi kukus metanol yang merupakan reaksi terkatalisis antara metanol dan air dalam fasa gas. Pada penelitian ini telah disintesis dua katalis Cu/ZnO/Al2O3 yang memiliki rasio mol Cu:Zn:Al berbeda, yaitu 1:2:0,1 (katalis I) dan 2:1:0,1 (katalis II). Pada suhu reaksi di atas 3000C, laju pembentukan hidrogen dengan katalis I menurun sedangkan laju pembentukan hidrogen dengan katalis II terus meningkat hingga mencapai 2,9 mol hidrogen/mol-metanol per menit pada suhu 4000C.
Kata kunci : Sintesis Hidrogen, alumunium, metanol


ABSTRACT

            Hydrogen is very possible to be the alternative fuel of the future . Hydrogen production process can be done biologically and chemically . The focus of this research is to utilize aluminum waste that has not been optimally termafaatkan into hydrogen gas needed as a source of fuel cell , environmentally friendly energy sources . This study begins with the search for catalysts ( H2SO4 , NaOH , KOH and NaCl ) , which is optimal for the production of hydrogen gas from waste aluminum foil . The results menunjukkah that hydrogen gas can be produced by using aluminum foil waste and waste from the aluminum beverage cans in alkaline conditions ( NaOH ) . The higher the concentration of NaOH , the faster the reaction time but tend to remain hydrogen gas production .
            Hydrogen from the methanol synthesis can be done through steam reforming of methanol reaction is catalyzed reaction between methanol and water in the gas phase . In this study, two catalysts were synthesized Cu/ZnO/Al2O3 having a mole ratio of Cu : Zn : Al differently ,  1:2:0,1 ( catalyst I) and 2:1:0,1 ( catalyst II ) . At reaction temperatures above 3000C , the rate of formation of hydrogen with a catalyst I decreased while the rate of formation of hydrogen with a catalyst II continued to increase until it reaches 2.9 mol hydrogen / mol of methanol per minute at a temperature of 4000C .
Keywords : Synthesis of Hydrogen , aluminum , methanol.






1.      Pendahuluan     
            Minat pada produksi gas hidrogen untuk sel bahan bakar terus meningkat, yang dipicu oleh kekhawatiran akan meningkatnya pencemaran lingkungan akibat penggunaan secara langsung bahan bakar fosil, dan tingginya harga minyak bumi. Ketika digunakan sebagai sumber energi, hidrogen tidak menghasilkan polutan seperti CO, CO2, SO2 dan NOx. Tentu saja, suatu hidrokarbon masih diperlukan untuk menghasilkan hidrogen, tetapi sel bahan bakar memiliki efisiensi energy yang lebih baik dan dapat mengurangi lepasnya gas rumah kaca dibandingkan dengan pembakaran langsung hidrokarbon. Saat ini terdapat kecenderungan pengembangan sel bahan bakar yang menggunakan hidrokarbon cair sebagai sumber gas hidrogen. Salah satu hidrokarbon cair yang dapat digunakan sebagai sumber hidrogen adalah metanol. Melalui reaksi terkatalisis pada suhu tidak terlalu tinggi (200 – 400oC), metanol dapat diubah menjadi gas yang kaya dengan hidrogen. Kelebihan lainnya, methanol mudah diperoleh dan dapat dihasilkan dari sumber terbarukan. Proses produksi gas hidrogen secara langsung dari hidrokarbon cair harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterapkan pada sel bahan bakar. Proses tersebut harus efisien, praktis, dan gas yang dihasilkannya mengandung CO sangat rendah. Pada konsentrasi beberapa ppm gas CO dapat meracuni sel bahan bakar dengan mendeaktifkan katalis (terutama Pt) pada anoda. Hidrogen dapat diperoleh secara langsung dari metanol melalui tiga proses yaitu dekomposisi metanol, oksidasi parsial metanol dan reformasi kukus metanol. Proses dekomposisi metanol dan oksidasi parsial metanol menghasilkan produk samping gas CO. Reformasi kukus metanol menjadi alternatif terbaik untuk sintesis gas hidrogen dari metanol. Reaksi ini menghasilkan gas H2/CO2 dengan rasio mol 3:1 dan tidak menghasilkan gas CO pada suhu reaksi di bawah 300oC. Dengan demikian, reformasi kukus metanol menjadi proses yang cocok untuk produksi hidrogen secara langsung pada sel bahan bakar pada kendaraan.
            Produksi hidrogen secara kimiawi yang lain adalah dengan menggunakan alumunium beralkalin untuk dijadikan fuel cell alumunium alkalin udara. Fuel cell alumunium alkalin-udara adalah serangkaian anoda alumunium dalam larutan beralkalin dan gas oksigen berada di katoda yang akan menghasilkan energi listrik. Fuel cell berbasis alumunium alkalin-udara sangat ramah lingkungan karena produk sampingnya adalah air dan bahan kimia (aluminum oksida (Al2O3) dan aluminum hidroksida Al(OH)3 yang dibutuhkan industry pemurnian air dan industri kertas serta alat-alat elektronik. produksi gas hydrogen dari limbah alumunium foil ini menggunakan katalis NaOH. Produksi gas hidrogen melalaui jalur ini selain memanfaatkan limbah di lingkungan sekitar juga merupakan energi yang mudah dikonversikan menjadi listrik dan bahan bakar, aman untuk lingkungan, karena tidak menyisakan limbah beracun, dan bersih, hanya air dan bahan kimia seperti aluminum hidroksida Al(OH)3 yang dapat digunakan kembali.



2.      Metode Penulisan
            Artikel ini membahas tentang perbandingan pembuatan gas hydrogen dengan i bahan yang berbeda. Dengan menggunakan sintesis hidrogen sebagai topik, maka jurnal-jurnal yang digunakan dalam artikel ini adalah :

·    Produksi Gas Hidrogen Dari Limbah Alumunium
·    Sintesis Hidrogen dari Metanol dengan Katalis Cu/ZnO/Al2O3
Kedua jurnal tersebut dalam artikel ini digunakan untuk perbandingan satu sama lain, sehingga diketahui bahan baku paling efektif sintesis hidrogen.

3.      Hasil Pembahasan
A.    Optimasi Penggunaan Katalis
·    Pada jurnal 1, variasi penggunaan katalis dilakukan untuk menentukan jenis katalis yang paling optimal dalam memproduksi gas hidrogen
Tabel.1 menunjukkan bahwa penggunaan katalis dalam suasana asam (H2SO4 dan HCl) dan katalis dalam suasana netral (NaCl) tidak bereaksi. Sebagai contoh dengan H2SO4 pada waktu 3 detik reaksi sudah tidak ada peningkatan tekanan. Hal ini menunjukkan bahwa baik katalis asam dan netral tidak dapat memproduksi gas hidrogen. Sebaliknya dengan menggunakan katalis basa, baik itu NaOH dan KOH memberikan tekanan akhir yang cukup tinggi, yaitu untuk 25 mL NaOH 3 M sebesar 1169 hPa dengan waktu 259 detik. Sedangkan dengan menggunakan 25 mL KOH 3 M menghasilkan tekanan yag hampir sama dengan NaOH yaitu sebesar 1101 hPa, tetapi waktunya selama 525 detik (2x lebih lama dari NaOH). Maka dari itu untuk langkah selanjutnya, katalis yang digunakan adalah NaOH. Reaksi yang berlangsung adalah :

·    Pada jurnal 2, penggunaan katalis dilakukan perbandingan mol Cu:Zn:Al katalis 1 dan katalis 2 yang berbeda yaitu1:2:0,1 dan 2:1:0,1. Hasil perbandingan dapat dilihat dari grafik
   Gambar 1 . Difraktogram katalis I
(Gambar 1) menunjukkan adanya ZnO, CuO dan Al2O3, dengan puncak-puncak yang cukup tajam dan intensitas tinggi, Puncak yang muncul berturut-turut pada 2, 31,83o, 34,47o, 36,27o, 47,65o, 56,57o, dan 63,01o merupakan puncak khas untuk ZnO. Puncak khas CuO muncul berturut-turut, sedangkan Al2O3 tidak teramati puncak nya, disebabkan oleh kecilnya persentase Al2O3 dalam katalis dan diduga Al2O3 terdistribusi dengan sangat baik. Katalis II menunjukkan pola difraksi yang sama (Gambar 2).

   Gambar 2. Difraktogram katalis II

Katalis II menunjukkan pola difraksi yang sama (Gambar 2). Kedua difrakto-gram memiliki puncak-puncak yang cukup tajam dan dengan intensitas tinggi, yang menunjukkan bahwa oksida CuO, ZnO dan Al2O3 berada dalam fase kristalin. Aktifitas katalitik kedua katalis diuji pada reaksi reformasi kukus metanol yang berlangsung sesuai persamaan reaksi CH3OH(g)+H2O(g)          CO2(g)+ 3H2(g) ΔH = 49,47 kJ mol-1 . Berdasarkan persamaan reaksi tersebut, reaksi bersifat endoterm dan jumlah maksimum mol hidrogen yang dihasilkan per satu mol methanol adalah sebanyak 3 mol.

B.     Faktor yang mempengaruhi laju reaksi

·    Pada jurnal 1, menjelaskan pengaruh konsentrasi NaOH terhadap lamanya reaksi dan produksi hidrogen dari limbah alumunium foil. Konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 1,2,3,4 dan 5 M Pengukuran dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan NaOH terhadap laju pembentukan gas hidrogen. Gambar 3 menunjukkan bahwa konsentrasi NaOH yang menghasilkan gas hydrogen terbesar adalah saat konsentrasi NaOH 2 M yaitu sebesar 1230 hPa. NaOH 1 M menghasilkan gas hidrogen paling sedikit yaitu sebesar 1184 hPa dan membutuhkan waktu paling lama sebesar 745 detik. Gambar 3 dengan jelas memperlihatkan tidak adanya hubungan antara meningkatnya konsentrasi NaOH dengan jumlah gas hidrogen yang dihasilkan. Gambar 1 menunjukkan adanya hubungan antara meningkatnya konsentrasi NaOH dengan peningkatan laju pembentukan gas hidrogen. Saat konsentrasi 1 M, waktu yang diperlukan sebesar 730 detik. Saat konsentrasi 2 M, waktu yang diperlukan 525 detik. Waktu yang diperlukan terus berkurang dengan bertambahnya konsentrasi NaOH. Pada konsentrasi NaOH 5 M, waktu yang diperlukan untuk pembentukan gas hidrogen semakin singkat, yaitu selama 245 detik. Meningkatnya konsentrasi ini mempengaruhi kecepatan limbah alumunium yang bereaksi untuk menghasilkan hidrogen. Semakin besar konsentrasi yang dipakai maka semakin cepat waktu yang diperlukan untuk produksi gas hidrogen. Gambar 3 juga menunjukkan bahwa meningkatnya konsentrasi NaOH tidak berpengaruh terhadap tekanan gas atau hidrogen yang dihasilkan.
Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi NaOH terhadap waktu reaksi dan tekanan, tekanan awal = 1016 hPa =1,002714 atm, V= 0,13L

·    Pada jurnal 2, menjelaskan pengaruh suhu  dan luas permukaan terhadap lamanya reaksi dari produksi hidrogen dari metanol. Keaktifan kedua katalis (yang dinyatakan sebagai laju pembentukan H2) pada berbagai suhu reaksi ditunjukkan pada Gambar 4. Pada suhu di bawah 350oC, katalis I menunjukkan keaktifan yang lebih tinggi daripada katalis II. Sedangkan pada suhu di atas 350oC keaktifan katalis II melampaui keaktifan katalis I. Keaktifan katalis I meningkat dengan kenaikan suhu reaksi dan mencapai laju maksimum sebesar 1,9 mol hidrogen/mol metanol per menit pada 300oC. Peningkatan suhu reaksi lebih lanjut (di atas 300oC) menyebabkan berkurangnya keaktifan katalis I. Keaktifan katalis II, yang pada suhu rendah jauh lebih kecil daripada katalis I, terus bertambah seiring meningkatnya suhu reaksi dan mencapai laju pembentukan hidrogen sebesar 2,9 mol hidrogen/mol metanol per menit. Sampai pada suhu 400oC, suhu reaksi paling tinggi yang dicoba pada penelitian ini, keaktifan katalis II masih menunjukkan kecenderungan peningkatan.
Gambar 4  Kurva laju pembentukan hidrogen pada berbagai suhu dari katalis I dan katalis II.

Pengukuran luas permukaan kedua katalis secara isoterm BET menggunakan gas nitrogen sebagai adsorbat menunjukkan bahwa katalis I dengan komposisi Cu yang lebih rendah justru memiliki luas permukaan yang lebih tinggi (43,2 m2/g) daripada luas permukaan katalis II (17,8 m2/g). Perbedaan luas permukaan ini dapat dijadikan indikasi bahwa pada katalis I Cu terdistribusi dengan lebih baik dan lebih banyak berada di permukaan dibandingkan pada katalis II. Lebih besarnya luas permukaan katalis I sesuai dengan keaktifannya yang lebih tinggi pada suhu reaksi di bawah 300oC. Walaupun bertindak sebagai pusat aktif, peningkatan persentase Cu tidak menjadikan katalis II lebih aktif pada suhu rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ZnO tidak hanya bertindak sebagai pendukung (support) tetapi turut terlibat dalam reaksi. Peningkatan komposisi Cu mendorong terbentuknya partikel kristalin CuO yang lebih besar dan lebih resisten terhadap reduksi. Kombinasi keduanya menyebabkan lebih rendahnya keaktifan katalis II daripada katalis I pada suhu rendah. Pada sisi lain, lebih kecilnya partikel CuO, yang kemudian menjadi partikel Cu setelah reduksi, pada katalis I menyebabkan katalis I lebih rentan terhadap sintering. Hal ini yang menyebabkan berkurangnya keaktifan katalis I pada suhu tinggi.

4.      Kesimpulan
            Berdasarkan kedua jurnal tersebut disimpulkan bahwa pada jurnal 1 optimasi katalis terbaik yaitu dengan menggunakan katalis basa NaOH, karena NaOH memberikan tekanan akhir yang cukup tinggi dan waktu yang relative singkat dibandingkan katalis, yaitu untuk 25 mL NaOH 3 M sebesar 1169 hPa dengan waktu 259 detik. Sedangkan pada jurnal 2, katalis terbaik yaitu menggunakan katalis 2 (Cu/ZnO/Al2O3) dengan perbandingan mol Cu:Zn:Al sebesar 2:1:0,1. pada suhu di atas 350oC katalis yang kedua yang lebih aktif. Perbedaan profil keaktifan terhadap suhu kedua katalis ini disebabkan oleh perbedaan distribusi partikel Cu dan kerentanan terhadap sintering.

Daftar Pustaka

Agrell, J.; et. all. J. Catal., 2003, 219, 389-403.

Choi, Y.; Stenger, H. G. J. Power Sources, 2005,. 142, 81-91.

Dian, Yusraini Inayati Siregar., Produksi Gas Hidrogen Dari Limbah Alumunium., 2010., Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (362-367)., Issn : 1978 - 8193

Marsih, I Nyoman., Firmansyah, Dudi Adi., Onggo, Djulia., Makertihartha, I. G. B.N., 2006., Sintesis Hidrogen dari Metanol dengan Katalis Cu/ZnO/Al2O3., Vol. 1 (1), 2006, h. 13-16.

Kulakov, E., Ross, A.F., Alumunium Energi for Fuel Cells: Using an Energi Source that is Both Plentiful and Fully Recyclable Will Dramatically Enhance its Utilization and Provide Benefits Globally., ALTEK FUEL GROUP.INC, (2007)

Okada, Osamu, Echigo, Mitsuaki, United States Patents 6, 2005, 844(292), 1-8.

 Twigg, M.V.; Spencer, M.S. Topics in Catalysis 22, 2003, 191-203.